Karakteristik Parpol di Indonesia Ada Feodal dan Progresif

Parpol

Jika terdapat perubahan kualitas demokrasi di Tanah Air seperti diperlihatkan pada Indeks Demokrasi Indonesia yang berada pada taraf sedang, yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS), partai politik lah yang menjadi penentu signifikansi perubahan itu.

Para pengamat politik menilai saat ini partai-partai politik dipimpin oleh kalangan generasi usia di atas 60-an yang cenderung mengembangkan feodalisme, kurang memperhatikan pengkaderan secara demokratis dan progresif.

Kader-kader yang muncul tak jauh dari hasil relasi dengan penguasa dalam tubuh parpol bersangkutan sehingga suasana demokrasi sangat sulit berkembang dalam situasi demikian. Yang lebih memprihatinkan lagi, seperti disinyalir pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, para penguasa parpol itu disakralkan oleh kader di bawahnya. Jimly boleh jadi agak berlebihan untuk mengatakan bahwa terjadi sakralisasi penguasa parpol di Tanah Air. Mungkin hal itu bisa terjadi untuk satu dua partai, yang lebih banyak dipengaruhi oleh karakter tokoh bersangkutan.

Di lingkungan parpol yang solid, yang eksis lewat jejak dinasti keluarga seperti dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kecenderungan sakralisasi pemimpin dimungkinkan namun di parpol yang dinamika perkembangannya diwarnai konflik, sakralisasi dalam arti pengultusan individual atas penguasa parpol relatif tak terjadi.

Yang justru mencemaskan dalam perkembangan internal parpol adalah menguatnya peran kapital, yang dalam kasus-kasus tertentu disebut mahar, dalam pengelolaan parpol. Pertarungan perebutan kursi ketua di parpol atau penempatan nomor jadi di wilayah strategis dalam daftar calon legislatif setiap menjelang pemilu legislatif tak pernah bebas dari peran dan pengaruh uang.

Dengan demikian kapitalisasi parpol sesungguhnya juga merupakan gejala yang memprihatinkan. Argumen budaya mahar itu selalu berkisar pada tiadanya sumber dana parpol yang memadai. Mayoritas warga negara bukanlah manusia ideologis yang mencatatkan namanya sebagai anggota parpol tertentu dengan kerelaan membayar iuran rutin.

Yang mendukung pendanaan operasi parpol secara rutin hanyalah para legislator yang memiliki penghasilan tetap, para calon kepala daerah yang membutuhkan dukungan parpol bersangkutan dan dana parpol dari negara yang meskipun telah dinaikkan masih dirasa kurang memadai.

Minimnya dana dalam kas parpol inilah yang membahayakan demokrasi dan sering dimanfaatkan oleh kalangan pengusaha dalam memperoleh proyek yang pada gilirannya wajib memberikan dukungan dana secara di bawah tangan kepada parpol bersangkutan.

Kecenderungan konservatisme di tubuh parpol ini dicoba untuk bisa didekonstruksi antara lain lewat kemunculan parpol-parpol baru yang dikelola oleh wajah-wajah baru di dunia politik. Misalnya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diketuai oleh mantan presenter berita Grace Natalie.

Parpol yang bersemboyan progresif dan terbuka ini hadir untuk menjadi antitese bagi kejumudan dalam jagat parpol di Tanah Air yang dipimpin oleh orang-orang tua yang tak begitu berminat melirik kader politik kaum muda, progresif namun tak berkantong tebal.

PSI memberikan tawaran baru dengan merekrut para warga negara Indonesia yang berminat menjadi politikus tanpa mahar. Itulah komitmennya.

Namun, untuk bisa menjadi parpol yang berpengaruh, jalan panjang masih harus dilalui oleh Grace Natalie, yang belum pernah masuk ke labirin atau rimba perpolitikan. PSI masih harus lulus verifikasi sebagai peserta pemilu. Pemilihan nama parpol itu yang singkatannya PSI agaknya dimirip-miripkan dengan sebuah partai terkemuka yang dipimpin salah satu tokoh perintis kemerdekaan Sjahrir, yakni Partai Sosialis Indonesia.

Partanyaannya: bagaimana Grace Natalie memecahkan dilema yang membelit PSI pimpinan Sjahrir itu, yang cenderung elitis dan hanya disokong suara kalangan kelas menengah perkotaan.

Boleh jadi sejarah akan berulang bahwa PSI Grace Natalie akan didukung hanya oleh kalangan elitis perkotaan. Jika demikian, dampak signifikan dalam waktu dekat sulit diharapkan darinya.

Namun, komitmen Grace Natalie untuk hadir menerjunkan diri ikut berpartisipasi membangun negeri lewat jagat politik pantas diapresiasi. Paling tidak, tak banyak kaum perempuan yang siap berjibaku di ladang yang disinyalir penuh intrik itu.

Ada suara-suara yang menyatakan bahwa ada pendana kuat di belakang Grace. Terlepas benar tidaknya kabar yang belum terverifikasi itu, Grace perlu membuktikan bahwa siapa pun di belakangnya yang memodalinya untuk mendirikan sebuah parpol, perempuan yang raut wajahnya bisa menjadi daya tarik para calon kader parpolnya itu harus menjaga marwah PSI sesuai dengan semboyannya: progresif dan terbuka.

Progresif punya makna bersifat maju menerobos. Itu menjadi antitese terhadap konservatisme, feodalisme yang kini menguat di tubuh parpol-parpol besar. Terbuka bermakna menerima siapa saja yang punya talenta untuk diterima sebagai kader politiknya. Ini juga antitese terhadap parpol lama yang hanya memberikan ruang utama bagi relasi terdekat mereka.

Sayangnya, eksistensi PSI dan nama Grace Natalie sendiri baru nyaring terdengar di kuping kaum terpelajar di perkotaan Jawa. Bisa dibayangkan bila partainya harus bersaing dengan parpol-parpol besar yang sudah punya merek dagang lewat warna benderanya saja. Orang-orang desa dengan segera tahu bendera parpol warnah merah, kuning, hijau. PSI sendiri menggunakan atribut partai dengan warna mirip dengan yang sudah mengisi memori publik bahwa warna itu milik PDIP.

Betapapun belum akan memberikan dampak signifikan pada ikhtiar demokratisasi dalam tubuh parpol, kehadiran PSI sudah memberikan sebentuk tawaran bagi warga yang memerlukan alternatif dalam memilih legislator yang akan mewakili mereka.

M. Sunyoto
Previous Post Next Post

News Feed