Mendidik Siswa Era Millenial



Seorang netizen, Habibie (38), mengaku tak habis pikir begitu membaca pemberitaan seorang siswa yang menganiaya gurunya di SMAN 1 Trojun, Sampang, Madura.

Ia mengaku masih ingat bagaimana dulu semasa sekolah juga pernah tumbuh menjadi remaja nakal di sekolah.

"Saya juga tumbuh menjadi remaja nakal. Bersama kawan, kami juga pernah dijemur di halaman sekolah sambil hormat bendera karena tidak ikut upacara, disuruh lari keliling sekolah sampai penat karena tak ikut senam, dicubit guru matematika yang terkenal guru galak, bahkan yang parah pernah ditampar kepala sekolah karena kedapatan merokok di belakang aula sekolah. Tapi sungguh, masa itu kami sangat takut pada guru-guru kami," kata dia, mengenang.

Bahkan tidak sedikit, kata dia, di antara teman-temannya itu yang badannya lebih besar dibanding gurunya, tapi pasrah ketika dihukum guru. Menurut dia, remaja pada era 1990-an masih menaruh hormat dan takut pada kemurkaan guru.

Kondisi tersebut, berbeda dengan siswa zaman kini atau millenial, yang menurut dia kurang menghormati guru. Salah satu contohnya adalah peristiwa yang terjadi di SMAN 1 Trojun, Sampang, Madura, yang mengakibatkan tewasnya seorang guru kesenian bernama Ahmad Budi Cahyanto. Mendiang guru Budi tewas usai dipukul oleh siswa berinisial HI.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hamid Muhammad, mengatakan peristiwa tersebut tidak terjadi di dalam kelas melainkan di luar kelas.

"Jadi peristiwa itu tidak terjadi di ruang kelas, melainkan di luar kelas. Ada semacam tempat duduk-duduk di situ, nah gurunya menugaskan untuk mengecat kursi taman. Tapi si siswa, HI, malah mengganggu teman-temannya," kata Hamid yang sudah turun langsung ke sekolah itu.

Guru Budi kemudian menegur HI, namun karena tak terima, HI melontarkan kata-kata kasar. Sang guru pun menyapukan cat air dengan tangan ke pipi HI. Tak terima, HI yang menguasai bela diri pun kemudian memukul bagian leher sang guru.

"Mungkin berkali-kali, sampai guru itu pun terjatuh. Semua permasalahan itu selesai di sekolah itu," kata Hamid.

Sesampainya di rumah, Budi merasa sakit di bagian leher hingga kepala pusing dan langsung dibawa puskesmas. Guru Budi dinyatakan meninggal dunia pada Kamis (1/2) pukul 21.40 waktu setempat.

Pola Interaksi Berubah Psikolog pendidikan anak Najeela Shihab mengatakan pola interaksi antara guru dan murid telah berubah. Hal itu dikarenakan zaman sekarang era millenial informasi ada dimana-mana, bukan hanya dari guru.

"Jadi pergeseran perilaku anak bukan hanya dari 'game' atau televisi, tapi memang karena pola interaksi dunia berubah. Guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi. Itu yang menyebabkan mengapa anak-anak sekarang berbeda dengan anak-anak zaman dulu," ujar Najeela.

Selain itu, anak rentan mengalami paparan kekerasan yang berdampak pada perilakunya.

"Sayangnya, pemahaman masyarakat mengenai lingkar kekerasan anak masih minim atau sedikit," ujar Najeela.

Najeela menjelaskan, kekerasan dalam pendidikan di Tanah Air cukup tinggi. Sekitar 26 hingga 27 persen anak mengaku menjadi korban kekerasan di rumah dan sekolah. Kemudian, sekitar 78 persen pernah menjadi saksi atau terlibat.

Selain itu, angka kekerasan yang berkaitan dengan korban guru juga memprihatinkan. Sekitar 5 hingga 9 persen guru merasa tidak aman dalam pekerjaan.

"Kekerasan dalam pendidikan di Indonesia, hanya menjadi pembicaraan saat sudah ada korban fisik, bahkan nyawa. Padahal setiap hari di ruang kelas, guru dan murid berada dalam kekerasan psikologis, termasuk secara emosional dan seksual. Tapi gawat darurat di dunia pendidikan, tidak dirasakan," kata dia.

Siswa yang menganiaya guru, HI, tidak 'mendadak nakal' dan guru Budi tidak hanya berada pada kondisi berbahaya pada saat itu saja.

Najeela yang juga seorang pendidik tersebut menambahkan, selama ini anak tumbuh berdasarkan pemahaman nilai moral dan perilaku sosial dari apa yang dipelajari dari lingkungan. Misalnya dengan mendisiplinkan dengan ancaman, mengapa teman yang melakukan perundungan mendapat tepuk tangan, bagaimana guru tidak meneladankan kemerdekaan.

Di sekeliling kita penggunaan zat terlarang, permainan digital yang mengenalkan pada darah, kemiskinan yang menekan. Makanya tak perlu kaget saat anak-anak kita menjadi korban. Pola pergaulan murid di sekolah, tingkat kerusakan atau kehilangan barang, jumlah murid yang absen dari pelajaran dan guru yang absen dari pekerjaan, seharusnya semua ini kartu kuning untuk pendidikan yang selalu diabaikan, kata dia.

Selain itu, penanganan kekerasan dalam pendidikan, jarang berdampak berkelanjutan.

Pada saat marah, kita bertekad meningkatkan pengawasan, yang seringkali menjadi ajang melabel (kelompok) murid yang berisiko tinggi. Padahal analisa data menunjukkan, pengelompokan murid yang bermasalah justru mengakibatkan turunnya kepercayaan diri dan meningkatnya 'gank' tidak sehat. Selain itu juga, menegakkan hukuman berlebihan, bukan hanya di pengadilan tapi juga di peraturan sekolahan. Padahal riset terbaru membuktikan, ancaman dan ketakutan berpengaruh jangka panjang pada perkembangan otak individu sepanjang usia dan budaya lingkungan sepanjang masa, katanya.

Menurut Najeela, perlu ada campur tangan sebelum anak perlu konseling dan terapi. Peraturan di sekolah juga bukan sekadar peraturan yang dipaksakan.

Disiplin positif yang dipraktikkan guru lah yang akhirnya menggerakkan perubahan, bukan sekadar pencanangan dokumen yang menghabiskan anggaran. Ini kunci guru yang merdeka dan murid yang berdaya, yang kita butuhkan, kata Najeela.

Disiplin positif tujuannya bukan patuh, tapi anak sadar dan bertanggung jawab, jadi anak bisa berpikir bukan hanya nurut. Peraturan harus dijelaskan dan ada alasannya. Selama ini, penanganan kekerasan dalam pendidikan fokus pada hukuman dan insiden per orang, belum fokus pada pencegahan yang memahami bahwa pelaku seringkali adalah korban.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan remaja seharusnya diberi ruang untuk menemukan jati dirinya.

Tugas perkembangan utama remaja adalah menemukan jati dirinya, menemukan bagaimana mengelola emosi dan perilakunya juga, dan bagaimana remaja berlatih membuat keputusan tepat. Sayangnya sekolah dan keluarga sibuk membuat remaja memiliki tugas mendapat nilai ujian sekolah, ujian nasional dan nilai akademis yang bagus, ujar Retno.

Hal itu yang membuat remaja seolah tak punya ruang dan waktu untuk melatih hal yang seharusnya ia lakukan. Retno menilai peristiwa kekerasan di ruang kelas yang terjadi di SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura, bukan hanya peristiwa hukum semata, tetapi juga peristiwa pendidikan.

Sudah saatnya guru mengajar dan mendidik bukan karena kurikulum, tapi karena jiwa anak-anak, katanya. Retno menilai sebagian besar masyarakat berpikir sistem pendidikan yang berpihak pada hak anak adalah penyebab kekacauan perilaku anak. Maka semua melakukan aksi "membela guru" dan "menghujat anak habis-habisan". Padahal sama sekali tidak, ujar Retno.

Di ruang kelas, lanjut dia, baik siswa dan guru sama-sama perlu dilindungi.

Hubungan Guru-Murid Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan selama ini hubungan antara guru dan siswa di sekolah belum diatur.

Selama ini, hubungan antara guru dan siswa di sekolah itu belum diatur. Kalau di pesantren sudah ada, bagaimana tanggung jawab murid pada guru, guru pada murid, juga orang tua dan murid. Kalau dibolehkan akan kita bikin seragam mengenai aturan di sekolah itu, ujar Mendikbud dalam konferensi pers Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2018, beberapa waktu lalu.

Menurut Mendikbud, memang perlu ada aturan bagaimana etika seorang siswa pada guru terutama untuk tingkat SMA. Disinggung mengenai perlindungan guru dan murid di sekolah, Muhadjir mengatakan bahwa hal itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kemudian dilanjutkan dengan Permendikbud 10/2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Kami akan kaji lagi, akan kita sisir hak dan kewajiban guru dan siswa, katanya.

Mendikbud menegaskan bahwa peristiwa itu kasuistik dan tidak mewakili sikap 53 juta siswa di Tanah Air. Jangan dianggap kasus ini mewakili wajah pendidikan kita, kata mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo meminta guru untuk tidak menyelesaikan masalah siswa yang "bermasalah" sendirian tanpa melibatkan orang tua dan juga sekolah.

FSGI juga menegaskan bahwa guru harus dilindungi, mendidik siswa era millenial. Oleh karena itu, jangan biarkan guru menyelesaikan masalah dalam keprofesian sendiri sehingga anak yang diberi sanksi akan melampiaskan dendam pada guru tersebut, bukan manajemen sekolah secara bersama atas nama institusi. (Indriani)
Previous Post Next Post

News Feed