Menelusuri Jejak Naskah Kuno Indonesia Di Jerman


Buku Lak Lak
 Pustaha Lak Lak

Berlin, 17/10 (Benhil) - "Maaf, hanya saya yang boleh pegang," kata Hanstein kepada salah satu pengunjung Perpusatakaan Negara Jerman Staatbibliothek zu Berlin yang hendak menyentuh lembaran naskah kuno asal Indonesia itu.

Dr Thoralf Hanstein merupakan Spesialis Subjek untuk Studi Bahasa Arab dan Islam Departemen Naskah Oriental Perpusatakaan Negara Jerman Staatbibliothek zu Berlin.

Secara cermat, dia menyisir kumpulan naskah dan membawanya ke bantalan khusus yang terbuat dari busa lembut sebagai alat untuk naskah yang berusia ratusan tahun itu.

Lembar demi lembar, dia buka secara perlahan dan dengan sangat hati-hati agar kekayaan intelektual itu tetap terjaga bentuknya.

Kalau di Indonesia pegangnya harus pakai sarung tangan karena cuaca sangat lembab yang dapat memicu tangan menjadi berkeringat, karena ini di Jerman dan cenderung kering, saya tidak perlu pakai sarung tangan.

Tidak sembarang orang bisa menyentuh naskah atau manuskrip kuno yang sangat sulit didapatkan itu, hanya orang-orang tertentu atau ahli di bidangnya yang diperbolehkan.

Suhu ruangan juga diatur sedemikian rupa agar naskah-naskah kuno itu bisa bertahan lebih lama lagi.

Pasalnya, dari sekian ruangan di perpusatakaan nasional itu, hanya satu ruangan yang dipasang pendingin, yaitu ruang penyimpanan naskah kuno.

Karena itu, saat ini perpustakaan nasional di berbagai negara tengah gencar untuk melakukan proses digitalisasi terhadap naskah-naskah kuno tersebut untuk kebutuhan bahan penelitian.

Ada sekitar 700 naskah kuno Indonesia dari 80.000 koleksi naskah kuno oriental di Perpusatakaan Nasional Jerman Staatbibliothek zu Berlin.

Dari 700 naskah kuno, Hainstein menyebutkan, baru 130 di antaranya yang sudah didigitalisasi dengan tema bervariasi.

Bahkan, kata dia, naskah Al Quran tertua pun ada di perpusatakaan itu.

Hanstein menjelaskan kebanyakan naskah yang dikumpulkan dari Indonesia dari abad ke-18 yang dianggap sudah bagus bisa menemukannya karena di bawah abad itu sangat sulit untuk didapatkan.

Seperti yang ditunjukannya, yaitu naskah majmuah atau kumpulan banyak teks Bahasa Jawa, namun menggunakan aksara Arab atau Pegon.

Naskah tersebut berisi tentang kaitannya Islam di Jawa, tetapi ada yang menarik di dalamya, yaitu ada sebuah gambar yang menyerupai singa.

"Ini Buraq, kendaraan nabi, yang menarik ini nampak keturunan China yang punya (naskah) ini, terlihat dari matanya," kata pakar yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Bhinneka Tunggal Ika Hanstein kembali membuka naskah yang tidak kalah tua, yaitu dari abad yang sama ke-18, naskah tersebut disimpan dalam tempat khusus yang terbuat dari ukiran kayu.

Bahasa Jawa yang dituliskan dalam Aksara Bali itu terukir di daun lontar dan merupakan salah satu bagian dalam Kitab Sutasoma yang dikarang oleh Mpu Tantular.

Bhineka Tunggal Ika ada di dalamnya, teks aslinya di naskah ini.

Selain itu, dia juga membuka koleksi-koleksi selanjutnya, yaitu naskah dengan Bahasa Melayu dengan menggunakan Aksara Arab, bahkan naskah Bahasa Batak yang disebut pustaha (buku) lak-lak berjumlah 69 naskah.

Sebagian besar, naskah berisi tentang mistis dan Islam di Jawa, namun untuk naskah Batak sendiri berisi tentang petunjuk hari baik untuk pernikahan.

"Mereka mengambil ayam dan potongan ayam digoreskan di sini, kemudian akan ada petunjuk hari baik dan tidak menurut kepercayaan mereka," ujarnya.

Ada pula naskah berbahasa Ternate dengan Aksara Arab dengan cap dari lilin yang berisi undian bagi imam yang akan memimpin salat, kata pria yang pernah berkecimpung dalam studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Dalam dunia manuskrip itu sendiri, menurut dia, tidak ada naskah yang benar-benar asli, naskah yang dianggap benar-benar asli apabila penulisnya masih hidup.

Karena sebagian besar yang menulis naskah ratusan tahun lalu itu hanya kalangan sufi dan sederajatnya, maka metode penulisan naskah hanya didikte, kemudian murid yang mencatatnya, kemudian diperbanyak dan disebar.

Bahkan, ada satu naskah yang ditulis pada abad ke-19 yang dibacakan saat pidato acara semacam pesta atau hajatan dan teks itu dipinjamkan ke orang-orang yang datang.

Bisa dilihat di sini, orang-orang memegang buku ini dengan tangan penuh sate dengan saus kacang tanah, kotor sekali, penuh dengan lemak dan rusak pojoknya, tutur dia.

Namun, naskah kuno Indonesia yang paling tua yang dimiliki oleh Perpusatakaan Negara Jerman Staatbibliothek zu Berlin adalah naskah pada abad ke-15.

Naskah yang ditulis di media kulit pohon gebang itu berisi 70 lembar.

Antara tahun 1467 atau 1407, umurnya kedua tertua untuk naskah kuno Indonesia, yang pertama itu ada di Perpustakaan Nasional (Jakarta).

Dilindungi Negara Banyaknya naskah kuno Indonesia yang terkumpul di Jerman, Heinstain mengaku karena jual beli, barter atau tukar-menukar.

Jerman tidak punya daerah jajahan, seperti Prancis atau Inggris sehingga punya banyak harta rampasan, termasuk naskah.

Namun, sejak pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, jual beli naskah kuno dilarang.

"Jadi, kami kalau mau dapat harus cari di pasar Eropa,' ujarnya.

Pengajar sekaligus penulis Nur Hidayati mengatakan ketika masa penjajahan naskah kuno itu banyak dan tersebar, jadi hilangnya naskah kuno itu sebagai salah satu rampasan perang.

Hidayati yang juga tengah meneliti tentang naskah kuno dengan judul tesis "Interpretasi Drewes atas Manuskrip Bonang dalam The Admonitios of Seh Bri" itu menuturkan ada beberapa manuskrip yang tidak ditemukan di perpusatakaan nasional Indonesia, justru banyak di negara Eropa, seperti di Univeristas Leiden, Belanda.

Mesin Telegraf Tulisan berbahasa Indonesia juga bukan hanya ditemukan dalam naskah kuno, tetapi juga di mesin telegraf elektrik pertama di dunia di kota kecil Gottingen, Jerman.

Telegraf elektrik pertama kali ditemukan oleh Samuel Thomas von Sommering pada 1809, kemudian pada 1832 Baron Schilling membuat telegraf elektrik pertama.

Carl Friedrich Gauss dan Wilhelm Weber merupakan orang pertama yang menemukan telegraf elektrik untuk alat komunikasi pada 1833 di Gottingen.

Pesan Bahasa Indonesia di mesin telegraf elekrik itu berbunyi "Mengapa tidak segera menghubungi rumah dan ceritakan bahwa kamu tepat berada di satu tempat di Gottingen di mana tele komunikasi elektromagnetik pertama kali bekerja di tahun 1833. Dan ceritakan juga bahwa kamu baru saja mencoba dan mengalami bagaiman sulitnya di jaman itu".

Hanya ada dua simbol untuk mengirim pesan di mesin telegram itu, yaitu simbol plus (+) dan minus (-).

Terdapat petunjuk untuk mengirimkan pesan di mesin tersebut, yaitu dengan membuat kombinasi kedua simbol yang sudah diatur untuk huruf alfabet.

Salah satu pengunjung Nati Sajidah mengaku takjub dengan adanya Bahasa Indonesia di mesin telegraf elektronik pertama di dunia,bersanding dengan bahasa-bahasa lainnya, seperti Bahasa Arab, Jepang, Jerman, Prancis dan lainnya.

"Setahu saya Gottingen itu adalah kota yang paling banyak meraih nobel di Jerman, artinya kota Gottingen sangat berpendidikan. Jadi, Indonesia punya posisi di mata orang yang berpendidikan," ujar praktisi pendidikan sekaligus penulis itu. (S/An)

Juwita Trisna Rahayu
Previous Post Next Post

News Feed