Penggantian Aplikasi Asing Wujud Kemandirian Teknologi


Semarang, 11/11 (Seotama) - Indonesia tampaknya perlu menyiapkan pelbagai aplikasi alternatif yang tidak kalah dengan Facebook, WhatsApp, Google, Instagram, Twitter, dan aplikasi asing lainnya sebagai wujud kemandirian teknologi.

Tidak pelak lagi, sepanjang pemerintah belum menyediakan aplikasi alternatif, ketergantungan pada aplikasi asing kian tinggi seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna aplikasi asing.

Pengguna aplikasi asing di Tanah Air, sebagaimana informasi dari Humas Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Ibnu Dwi Cahyo kepada Antara, Jumat (10/11) malam, Facebook sekitar 115 juta orang, Google kurang lebih 100 juta pengguna, YouTube mencapai 50 juta orang, Instagram sebanyak 45 juta, dan WhatsApp sekitar 36 juta.

Tidak mengherankan ketika ada kabar pemerintah akan memblokir WhatsApp, sejumlah pengguna WA bereaksi, apalagi aplikasi pesan untuk smartphone dengan basic mirip BlackBerry Messenger ini ada yang menjadikannya sarana bekerja. Misalnya, sejumlah pelaku usaha sablon, menggunakan WhatsApp untuk mengirim desain kaus dan berkomunikasi dengan sesama pelaku usaha kecil dan menengah lainnya.

Terkait dengan rencana pemblokiran WA, Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC) Pratama Persadha mengingatkan bahwa hal itu bakal menuai protes, apalagi pengguna WA di Indonesia relatif banyak. Bahkan, pemakainya bukan hanya orang biasa, melainkan para petinggi negara ini menggunakan WA untuk komunikasi.

Kalau sampai berani melakukan blokir, akan diprotes banyak orang. Mungkin, kata Pratama, nanti yang akan demo lebih banyak daripada jumlah peserta "Demo 411". Ia lantas membandingan dengan China yang berani memblokir aplikasi asing atau layanan media sosial asing apa pun karena memiliki aplikasi alternatif yang tidak kalah dengan Google, WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, Pinterest, dan aplikasi lainnya.

Menurut Pratama yang pernah sebagai Pelaksana Tugas Direktur Pengamanan Sinyal Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) itu, sebaiknya pemerintah membicarakan dengan pihak Facebook.

Kalau perlu, memohon kepada pengelolanya untuk membuatkan aplikasi WA khusus Indonesia dan membatasi konten-konten tertentu untuk wilayah negara Indonesia.

WhatsApp ini, lanjut dia, berbeda dengan Telegram yang "user-nya" tidak terlalu banyak di Indonesia. Telegram diblokir tidak timbulkan keresahan yang berlebihan di Indonesia. Akan tetapi, kalau WA yang diblokir, bakal ramai.

Tidak diblokir Pada 7 November 2017, sebagaimana berita Antara, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memblokir aplikasi WA terkait dengan konten bernuansa pornografi dalam format graphics interchange format (GIF) dalam aplikasi tersebut.

Usai menghadiri acara di Kantor BPS Jakarta, Selasa (7/11), Rudiantara mengatakan bahwa pemerintah lebih fokus menghilangkan konten GIF daripada memblokir aplikasi tersebut. Meski pemblokiran konten negatif tersebut belum mencapai 100 persen, Kementerian Kominfo dan operator penyelenggara sudah memblokir situs tenor, penyedia GIF.

Keenam domain name system (DNS) Tenor yang sudah diblokir, yaitu tenor.com, api.tenor.com, blog.tenor.com, qa.tenor.com, media.tenor.com, dan media1.tenor.com.

Sebelumnya, Kemkominfo telah memberi waktu 2 x 24 jam terhitung sejak Senin (6/11) agar pihak WhatsApp segera menarik konten bermuatan negatif dalam aplikasi mereka.

Pencegahan Semasih belum memiliki aplikasi alternatif mirip dengan WA, tampaknya para orang tua perlu memperhatikan imbauan dari Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Masalahnya, kontennya sungguh tidak pantas dilihat anak-anak.

Agar anak tidak mudah membuka gawai milik orang tuanya, perlu memanfaatkan fitur pengunci aplikasi android yang ada dalam setiap gawai. Adapun caranya cukup beragam untuk mengunci aplikasi-aplikasi tertentu yang tidak patut anak-anak melihatnya. Misalnya, mengunci aplikasi melalui kata sandi, PIN (personal identification number), atau pemindai sidik jari.

Khofifah memandang perlu mengajak anak-anak bermain atau memberi kesibukan kepada anak-anak supaya mereka tidak terfokus pada bermain gawai saja. Ajak anak-anak bermain ke taman kota, membaca buku favorit, lalu mendiskusikannya bersama, atau bisa juga dengan memberikan mainan edukatif sesuai dengan hobi masing-masing anak.

Belajar dari kasus merebaknya informasi tentang konten GIF porno di WA, menurut Mensos, ada hikmahnya. Dalam hal ini, publik makin cepat dan tanggap terhadap upaya perlindungan anak.

Sejak pesan berantai tentang konten GIF di WA muncul, kata Khofifah, diikuti pula oleh ajakan untuk mendorong penyedia layanan ini untuk melaporkan konten itu ke tim pengelola WA. Di lain pihak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia juga sudah memberikan penyataannya. Artinya, kata Khofifah, gerakan perlindungan terhadap anak ini telah makin meningkat.

Ia mengimbau masyarakat untuk memperkuat ketahanan keluarga dengan menguatkan pendidikan agama, rawat cinta dan kasih sayang dalam keluarga, membangun kedekatan emosional yang kuat untuk membentengi anak-anak generasi millenial, #KidsZamanNow dari pengaruh pornografi, narkoba, dan juga seks bebas.

Aplikasi Alternatif Tindakan preventif, sebagaimana yang disampaikan oleh Mensos, memang perlu sebelum bangsa ini membangun aplikasi mirip WhatsApp.

Akan tetapi, aplikasi itu sebaiknya tetap menjaga privasi penggunanya dengan menerapkan sistem enkripsi khusus yang tidak mudah siapa pun mengaksesnya. Konten, baik berupa teks, gambar, maupun video, hanya bisa dibaca/dilihat oleh kedua belah pihak yang berkomunikasi via aplikasi tersebut.

Semoga aplikasi yang disediakan khusus untuk publik Indonesia berbeda dengan China. Negeri Tirai Bambu ini membangun aplikasi WeChat dengan alasan faktor keamanan. Konon, dengan menggunakan aplikasi itu, pemerintah China dapat mengetahui data pribadi milik pengguna. Sementara itu, aplikasi WhatsApp memiliki sistem enkripsi khusus yang membuat setiap pesan yang dikirim tidak bisa diakses orang lain, bahkan pihak pemerintahan. Sebaiknya sistem ini tetap dipertahankan bila Indonesia jadi bikin aplikasi serupa.

Makin banyak aplikasi asing diganti dengan aplikasi buatan dalam negeri, makin rendah tingkat ketergantungan pada teknologi negara lain. (S/An)

D.Dj. Kliwantoro
Previous Post Next Post

News Feed