Rumah Adat Batak Potensial Dikelola Jadi Homestay

Rumah Adat Batak
Rumah Adat Batak Toba, Photographer, Charlie M. Sianipar

Target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Danau Toba dan Sumatera Utara sebesar satu juta orang pada 2019 yang ditetapkan oleh Pemerintah seperti sebuah "ledakan". Betapa tidak, angka itu kira-kira empat kali lipat atau naik 300 persen dari capaian tahun 2017, sekitar 260.000 orang.

Hal itu memunculkan pertanyaan, apakah mungkin diwujudkan dalam dua tahun?, apalagi kalau dibandingkan dengan periode sebelumnya, angka kunjungan tahun 2017 hanya meningkat kira-kira 12 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah sekitar 233.000 orang.

Perbandingan itu memang tidak relevan, karena kondisi kawasan Danau Toba sejak tahun 2017 jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Sejak Presiden Joko Widodo menetapkan kawasan Danau Toba sebagai salah satu prioritas pengembangan pariwisata nasional, banyak kemajuan di daerah ini, antara lain pengoperasian jalan tol bandara Kualanamu-Tebing Tinggi yang akan dlanjutkan hingga ke Parapat, dan peningkatan kapasitas Bandara Silangit menjadi bertaraf internasional medio akhir November tahun 2017.

Selain itu, perbaikan dan pelebaran jalan di Pulau Samosir serta jalan-jalan ke lokasi-lokasi wisata dan peningkatan jumlah dan kapal fery penyeberangan di Danau Toba, akan meningkatkan kenyamanan kunjungan wisatawan.
 
Ditambah rencana pembangunan jalan tol Bandara Kualanamu-Parapat hingga ke pelabuhan Kuala Tanjung di pantai Timur Sumatera Utara, akan membuka tiga titik masuk ke kawasan pariwisata Danau Toba. Namun terobosan paling penting adalah peningkatan kapasitas bandara Silangit yang memungkinkan penerbangan langsung dari berbagai negara ke jantung pariwisata Danau Toba.

Presiden Joko Widodo ketika meresmikan bandara internasional Silangit pada akhir November 2017 meminta agar landas pacu ditingkatkan dari 2.650 m menjadi 3.000 m agar pesawat berbadan lebar bisa mendarat.

Selain perbaikan aksesibilitas, perbaikan lokasi-lokasi wisata serta penambahan atraksi-atraksi wisata yang disusun dalam kalender pergelaran tahunan, membuat pemerintah yakin bisa mendatangkan sejuta wisatawan asing tahun 2019.

Masalah yang belum tersentuh adalah penyediaan tempat penginapan (kamar hotel) bagi sejuta wisman tersebut, karena menyangkut pihak swasta dan masyarakat, walauapun Kementerian Pariwisata telah merencanakan pembangunan sekitar 2.000 homestay di sekitar Danau Toba.

Kalau dicoba dihitung-hitung, sejuta wisatawan itu terdiri dari 500.000 pasangan. Jika diambil rata-rata sekitar 10.000 pasangan yang berkunjung setiap pekan, dan jika diasumsikan separuhnya menginap di kawasan sekitar Danau Toba, maka dibutuhkan sekitar 5.000 kamar untuk menampungnya.

Pada tahun 2016 diperkirakan ada sekitar 5.000 kamar penginapan di sekitar Danau Toba, maka atas perhitungan rata-rata seluruh wisatawan dapat diserap. Namun pada kenyataannya tidaklah merata, ada periode padat dan ada periode sepi. Pada periode padat inilah yang mungkin terjadi kekurangan kamar.

Untuk mengatasi kekurangan kamar, pembangunan hotel baru dalam waktu hanya setahun tidaklah mungkin, sehingga alternatif paling mungkin adalah pengembangan homestay. Itu pun tidak membangun baru, melainkan mengkonversi rumah penduduk.

Dikonversi Rumah penduduk yang potensial dikonversi menjadi homestay adalah rumah adat Batak. Hingga saat ini diperkirakan masih ada lebih dari 1.300 rumah adat Batak di Pulau Samosir dan sekitarnya, dan diperkirakan lebih dari 50 persen tidak dihuni karena berbagai alasan antara lain ditinggal merantau atau sudah memiliki rumah yang lain.

Hal lain yang membuat rumah adat Batak potensial diubah jadi homestay yaitu disain dan arsitekturnya yang unik, usia ratusan tahun, serta nilai filosofi dan kultural yang terkandung di dalamnya.

Rumah adat Batak adalah salah satu rumah tradisional yang memiliki disain dan arsitektur "vernacular", yakni yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar.

Rumah adat Batak berbentuk panggung dengan tiang-tiang yang besar dan rapat, untuk menghindari banjir dan berbagai ancaman binatang buas. Atap menjulang tinggi dan curam untuk menghindari kebocoran aliran air di daerah yang tinggi curah hujan dan angin kencang.

Hanya terdapat satu pintu masuk dari bagian depan rumah, dan dua jendela kecil di masing-masing sisi kiri dan kanan. Bagian dalam rumah tanpa sekat, dinding terbuat dari kayu tebal yang condong ke luar. Sirkulasi udara berasal dari loteng berbentuk segitiga di bagian depan dan belakang.

Rumah adat Batak lebih diperuntukkan untuk istirahat tidur di malam hari karena seluruh aktivitas di siang hari berada di luar rumah. Tangga bisa dicabut, dan ketika tangga dicabut serta pintu dan jendela ditutup, maka seluruh penghuni rumah akan aman dari serangan musuh dari luar.

Rumah adat Batak yang ada di Pulau Samosir dan sekitarnya selalu menghadap ke bukit dan membelakangi danau, dengan pemaknaan menghargai dan menghormati dunia atas (surga) yang dilambangkan oleh perbukitan.

Rumah yang berbentuk panggung, tidak ada kamar, tanpa plafon, ruangan gelap dan tidak ada kamar mandi, kontras untuk kebutuhan pariwisata yang identik dengan kenyamanan.

Namun menurut pelaku pariwisata di Pulau Samosir, Annette Horschmann, konversi rumah adat Batak menjadi homestay, tidak perlu melakukan perubahan, tetapi mempertahankan bentuk dan interior yang ada.

"Pada tahap awal, yang terpenting adalah kebersihan rumah, mulai dari lantai, dinding, kamar mandi dan toilet, serta lingkungan sekitar," katanya dalam perbincangan dengan Antara beberapa waku lalu di hotel miliknya, Tabo Cottage, di Tuktuk, Samosir.

Untuk kenyamanan tamu, kata wanita berdarah Jerman yang menikahi pria Batak bermarga Silalahi ini, boleh disediakan kasur dan bantal yang memadai, serta kelambu agar terhindar dari gigitan nyamuk.

Supaya tidak mengganggu arsitektur dan konstruksi rumah, maka kamar mandi dan toilet bisa dibangun terpisah, sedangkan kolong rumah yang biasanya merupakan kandang binatang peliharaan, bisa disulap menjadi tempat bersantai dan ruang makan, dengan membangun lantai dan membersihkan sekeliling.

Interior rumah yang bernada kusam, bisa dipertahankan dan untuk penerangan bisa ditambah jaringan listrik. "Model konversi seperti itu saya kira masih terjangkau masyarakat," kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Samosir itu.

Rumah adat Batak umumnya berkelompok antara empat hingga delapan rumah, dan lokasinya biasanya terjangkau dan bahkan banyak yang berada di tepi jalan raya.

Penyebarannya hampir di setiap kampung di Pulau Samosir, sehingga jika dikelola menjadi homestay bisa memenuhi kebutuhan wisatawan di berbagai lokasi wisata.

Pemasaran Untuk pemasaran homestay tidak sulit, bisa secara digital lewat internet. Apalagi jika jaringan kabel optik yang lagi dibangun Telkom sudah tuntas hingga ke setiap desa wisata, maka pemasaran homestay secara online adalah hal yang mudah.

Hingga kini belum ada contoh atau model konversi yang paling baik, sehingga perlu keterlibatan arsitek agar dapat dihasilkan disain yang nyaman bagi wisatawan dan terjangkau dari sisi biaya renovasi.

Keterlibatan pemerintah atau korporasi sangat strategis. Daripada membangun yang baru, untuk saat ini dana yang sudah dialokasikan Pemerintah lebih baik digunakan untuk konversi, yang bisa menghasilkan lebih banyak homestay.
 
Pihak korporasi lewat pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) bisa ikut dalam pengembangan homestay berbasis rumah adat, sebab hal itu adalah salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat untuk mendapat manfaat dari perkembangan industri pariwisata.

Apabila konsep pemberdayaan ini berjalan, maka ada dua manfaat yang didapat yaitu yang pertama masyarakat mendapat sumber pendapatan baru, dan yang kedua pelestarian budaya lewat upaya memelihara dan merawat rumah adat miliknya karena sudah menjadi sumber penghasilan. (An-Biqwanto Situmorang)


Previous Post Next Post

News Feed