Nabire Baru Luncurkan Program Beasiswa Anak Putus Sekolah

Keterbatasan ekonomi keluarga, kondisi lingkungan yang jauh dari kata layak, dan minimnya infrastruktur merupakan hal- hal yang menjadi faktor penyebab anak putus sekolah. Di Papua, lebih dari 70% anak putus sekolah. Angka demikian kian bertambah di kabupaten daerah yang sulit diakses. Data pemerintah menunjukan jumlah keseluruhan anak putus sekolah disana mencapai 50% untuk SD dan 73 % untuk sekolah menengah pertama.

Kebanyakan dari anak- anak yang putus sekolah tersebut mengaku terpaksa berhenti mengenyam pendidikan karena harus membantu orangtua mencari nafkah. Tak jarang pula anak-anak menjadi tulang punggung keluarga karena orangtuanya meninggal. Dengan kondisi serba kekurangan, pekerjaan apapun rela mereka lakoni demi menyambung hidup. Mulai dari buruh perkebunan, kuli panggul, pemecah batu, penjaga ternak, dan pekerjaan lain yang sebenarnya terlalu berat untuk anak- anak seusia mereka.

Tak ingin lagi melihat kemalangan nasib anak-anak putus sekolah di Papua, CSR Manager PT. Nabire Baru, Yakobus Stefanus Muda mengatakan pihaknya akan mengadakan program beasiswa untuk anak- anak putus sekolah mulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Program beasiswa ini akan kami berikan kepada anak- anak putus sekolah mulai tingkat SD, SMP, dan SMA di wilayah perkebunan kelapa sawit milik PT Nabire Baru. Khususnya bagi anak yatim, dan keluarga dengan kategori tidak mampu. Mereka memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan formal,” papar Yakobus di Papua, (15/3).

Dewasa ini, Yakobus menilai pendidikan bermutu seolah semakin jauh dari jangkauan masyarakat miskin. Dunia pendidikan seolah berubah wajah menjadi komoditi komersil yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan mampu.

“Masyarakat miskin sulit sekali mengakses pendidikan. Kendati pemerintah telah beberapa kali meluncurkan program bantuan pendidikan, namun tetap saja fakta dilapangan menunjukan angka cukup besar, betapa banyaknya anak- anak putus sekolah yang belum terjangkau bantuan,” imbuhnya.

Selain faktor keterbatasan biaya, dan minimnya infrsatruktur, keterbatasan tenaga pengajar di sekolah- sekolah juga menjadi faktor lemahnya pendidikan di wilayah tersebut. Bahkan, dalam satu sekolah ada guru yang harus mengajar merangkap beberapa kelas karena kekurangan tenaga pengajar. Hal ini, diakui Yakobus membuat proses belajar mengajar menjadi kurang efektif.

“Untuk itu, saat ini kita sedang mengusahakan untuk mendatangkan tenaga- tenaga pengajar dari Papua maupun luar daerah Papua yang bersedia ditempatkan untuk mengajar sekolah- sekolah di wilayah terpencil. Dalam hal ini, kami akan mengadakan kerjasama dengan Kementerian Pendidikan,” simpulnya.

Terakhir, Yakobus berharap rencana program beasiswa yang diluncurkan oleh PT. Nabire Baru dapat membawa dampak signifikan terhadap pendidikan di Papua. Ia juga menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan survei dalam waktu dekat agar program beasiswa bisa tepat sasaran dan tidak disalahgunakan orang-orang tidak bertanggung jawab.

“Kita akan survei di beberapa lokasi berapa jumlah anak putus sekolah, apa sebabnya, berapa usia mereka, dan hal- hal lain yang bersangkutan untuk memastikan bahwa program beasiswa ini tepat sasaran,” simpul Yakobus. (AM)


Previous Post Next Post

News Feed