Aturan Pembelian Nomor Seluler Baru Harus Diperketat, Telaah oleh Pratama Persadha

Pratama Persadha


Penangkapan Team Cyber Saracen mengonfirmasi bahwa ada sekelompok orang yang memang menjadikan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di media sosial sebagai barang jualan mereka.

Sebelumnya, pada akhir 2014, akun Twitter TrioMacan yang dikenal bercoleteh berbagai isu dan mengatakan informasi sebagai A1 berhasil dibekuk dan menjadi salah satu berita yang paling hangat saat itu.

Media sosial dan "instant messaging", seperti WhatsApp menjadi lokasi favorit para penyebar konten hoaks (hoax). Hal ini terjadi karena memang saat ini pemakainya di Tanah Air sudah sangat banyak.
 
Pengguna internet di Indonesia sudah lebih dari 132 juta orang, pemakai layanan situs pencari Google sendiri sudah lebih dari 100 juta orang, sedangkan pemakai Facebook dan aplikasi WhatsApp sudah lebih dari 80 juta orang, tentu ini menjadi peluang bagi mereka. Pertumbuhan pemakai internet di Indonesia adalah yang tercepat di dunia, hampir 50 persen sejak 2015.

Dengan bantuan teknologi membuat sekaligus menyebarkan konten negatif hoaks ini menjadi sangat cepat dan tepat sasaran. Para pelaku bisa melakukan pengelompokan dengan mudah pada grup WhatsApp maupun grup Facebook yang mereka buat, dibuat berdasarkan agama, daerah, suku, bahkan pengotakan sesuai dengan minat dan sasaran para pelaku ini.

Langkah penangkapan oleh Polri sudah bagus dan patut diapresiasi. Namun, lebih baik lagi bila pemerintah bisa melakukan langkah preventif dengan menegakkan aturan kepemilikan, pembelian nomor seluler baru lebih tegas.

Di Indonesia, setiap orang bisa dengan bebas membeli nomor ponsel baru, padahal nomor seluler adalah syarat untuk membuat surat elektronik (email) dan media sosial, termasuk "instant messaging", seperti WhatsApp dan Telegram. Ini adalah pintu masuknya.
 
Di banyak negara aturan pembelian nomor baru ini disertai identitas, tanda pengenal yang valid, tidak hanya registrasi yang asal-salan saja. Negara jiran, seperti di Singapura, adalah contoh bagaimana ketatnya aturan masyarakat mendapatkan nomor perdana baru.

Pemerintah seharusnya bisa memberlakukan pembelian nomor seluler harus diikuti dengan infomasi kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Ada batas yang jelas untuk pembelian sehingga setiap nomor aktif yang teregistrasi dengan KTP elektronik.
 
Hal ini jelas akan mempersulit para pelaku untuk melakukan "ternak akun". Tanpa keleluasaan untuk beternak akun, ini jelas akan mempersulit para pemain layanan konten hoaks untuk bergerak.
 
Mempersulit mereka melakukan "social engineering" (rekayasa sosial) kepada masyarakat, juga membuat konten hoaks semaikn sulit untuk viral, dibagikan secara berantai.

Seperti yang kita ketahui, saat ini masyarakat Indonesia begitu mudah mendapatkan nomor seluler baru. Ini tidak hanya dimanfaatkan oleh orang-orang pembuat konten hoaks, bahkan menjadi alasan utama banyak warga negara asing melakukan kejahatan siber (cyber crime) di Indonesia.
 
Beberapa waktu lalu terjadi penangkapan puluhan WNA (Warga Negara Asing) yang melakukan pemerasan terhadap target di negaranya, menggunakan nomor seluler dari Indonesia.

Filter konten selain itu, pemerintah juga bisa dengan tegas kepada para penyedia layanan aplikasi media sosial untuk melakukan filter konten.
 
Hal yang sama sudah dilakukan Telegram sebagai syarat membuka blokir di Indonesia. Bila masih banyak konten hoaks bermunculan di sebuah media sosial, ada baiknya pemerintah memberikan peringatan agar konten negatif tersebut bisa berangsur berkurang dan hilang.

Terkait dengan pemesan yang isunya banyak dari kalangan politikus, saat ini masyarakat menunggu hasil pihak berwajib untuk mengusut lebih lanjut. Bila hanya dugaan-dugaan, nanti menambah kisruh di tengah masyarakat.
 
Namun, yang pasti dari keterangan pihak berwajib, Kelompok Saracen ini memang memanfaatkan dua pihak untuk diadu domba. Mereka mempunyai akun anonim untuk memojokkan umat Islam maupun juga memiliki akun untuk memojokkan umat beragama lain. Mereka mengambil keriuhan media sosial dari isu yang disebar.

Masyarakat kita umumnya baru benar-benar bermedia sosial langsung dalam genggaman gawai (gadget) smartphone sekitar 5 tahun terakhir. Mulai ramai ke ranah politik sejak 2012. Satu kelompok mempunyai tim sendiri, kelompok lain pun demikian.

Beberapa pihak melihat peluang ini, mengapa tidak terus diramaikan saja meski kontestasi pemilu sudah berakhir. Korbannya jelas masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah selain bertindak tegas lewat pendekatan hukum oleh aparat, sebaiknya juga menertibkan penjualan nomor seluler, di sana kuncinya.

Masyarakat pun harus diedukasi sedari dini agar menjadi netizen (warganet) yang baik. Pemerintah harus mendorong netizen tanah air sibuk menghasilkan konten positif.
 
Kita bisa mencontoh negara Finlandia, bagaimana sejak usia dini anak mudanya diarahkan untuk memproduksi konten positif, baik berupa karya tulisan, grafis, fotografi, video, bahkan gim.

Peluang untuk menyibukkan masyarakat dengan konten positif masih terbuka besar. Pemakai internet Indonesia sangat besar, baru 50 persen dari penduduk Indonesia dan akan terus bertambah. Go-Jek adalah contoh nyata yang berhasil bagaimana internet bisa dimanfaatkan dengan baik dan membuka lapangan kerja yang luas bagi penduduk di Tanah Air.

Untuk mengurangi konten hoaks, pemerintah juga harus memberikan contoh yang jelas bagaimana akibat hukum dari para pembuat konten hoaks. Namun, harus diikuti dengan penjelasan kepada masyarakat bagaimana konten tersebut sangat membahayakan persatuan dan keutuhan bangsa.

Pendekatan hukum, pendekatan regulasi dan kultural di tengah masyarkaat harus dipadukan. Mungkin akan sangat sulit menghilangkan sama sekali konten hoaks di tengah masyarakat. Namun, bukan hal yang mustahil untuk terus mengurangi konten berbahaya tersebut.

*) Penulis adalah Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC). (S/Ant)
Previous Post Next Post

News Feed