Menentukan Kebijakan Di Era Digital

Era Digital

Jakarta, 30/11 (Seotama) - Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa perilaku konsumen dan perilaku konsumsi kini sudah berubah karena terpengaruh oleh sejumlah model bisnis baru.

Dahulu masyarakat senang berbelanja, baik ke toko maupun mal. Kini semuanya telah berubah.

"Konsumsi warga ada pada dunia wisata, suka pelesiran, suka wisata. 'Shifting' ini yang harus kita mengerti, ada perubahan, ada pergeseran, juga dari 'offline' ke 'online'," kata Presiden ketika berbicara dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2017 di Jakarta, Selasa (28/11) malam.

Menurut Presiden di hadapan para pejabat kementerian, lembaga negara, dan bankir itu, perubahan perilaku konsumen dan konsumsi masyarakat tersebut harus dipahami sebelum mengambil kebijakan.

Apa yang diungkapkan Presiden itu sepertinya ingin menunjukkan bahwa saat ini ekonomi digital sudah memasuki sektor kegiatan perekonomian, seperti perdagangan dan ritel, dan perkembangan pesat kolaborasi online jasa perhotelan. Kebijakan berkaitan dengan ekonomi daring (online) itu harus dikeluarkan agar perekonomian terus tumbuh secara berkelanjutan dan merata.

Data menunjukkan bahwa penetrasi ekonomi digital dalam lima tahun terakhir memberikan pengaruh terhadap sektor perdagangan dan ritel, peran pemerintah menentukan kebijakan di era digital semakin diperlukan.

Pertumbuhan perdagangan dan ritel yang biasanya rata-rata mencapai 12,5 persen per tahun, sekarang berada pada angka 10,5 persen. Sektor ritel melalui jalur perdagangan elektronik dalam jaringan (e-commerce) di satu sisi tumbuh hampir 30 kali lipat dalan tiga tahun terakhir.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, penetrasi digital memunculkan perubahan di dalam kecenderungan konsumsi masyarakat yang mulai bergerak ke arah kegiatan waktu luang. Potensi ekonomi digital ditunjukkan dengan jumlah pengguna internet di Indonesia sebanyak 132,7 juta berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016. Pengguna terbanyak berada di Jawa yaitu sebanyak 86,3 juta.

Kesiapan Pemerintah Pemerintah, menurut Darmin, telah menyiapkan beberapa hal untuk masuk ke dinamika digital ini walaupun di sisi lain masih bergulat menyelesaikan peralihan dari dominasi ekonomi berbasis sumber daya alam ke manufaktur. Beberapa hal yang telah disiapkan antara lain Paket Kebijakan Ekonomi XIV mengenai peta perjalanan perdagangan digital untuk memberi kemudahan dan kesempatan bisnis tertentu berkembang lebih cepat menghadapi perubahan yang sedang terjadi.

Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif atau SNKI. Dari sisi infrastruktur informasi, pemerintah sedang menyelesaikan proyek Palapa Ring yang melibatkan swasta dalam pembangunannya dan akan menjadi infrastruktur bagi teknologi informasi.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) sedang mengkaji besaran andil atau porsi dari kegiatan "e-commerce" terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan bahwa sektor "e-commerce" sebenarnya sudah termasuk dalam data pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi. Secara teori, semua yang diproduksi untuk kemudian diperdagangkan, baik secara "offline" atau "online", sudah tercakup di sana.

Masalahnya, BPS belum mampu memilah dari perdagangan, mana yang "online" dan mana yang "offline". BPS membutuhkan fitur yang pasti untuk itu.

Suhariyanto juga mengakui bahwa sektor "e-commerce" mengalami perkembangan yang pesat. Namun, menurut dia, porsinya terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan masih tergolong kecil. Ia juga mengatakan bahwa BPS sudah pernah melakukan survei kecil untuk mengetahui pola pergerakan barang-barang yang dijual dalam jaringan.

Hasilnya, porsi paling besar adalah pola konsumsi yang berkaitan dengan kegiatan waktu luang (hotel, restoran, dan tiket pesawat), jam tangan, dan alat komunikasi. Sedangkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tengah mengkaji dampak digitalisasi ekonomi, salah satunya perdagangan elektronik, terhadap terciptanya kesempatan kerja di Tanah Air.

Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan pihaknya perlu mengantisipasi semakin berkembangnya perdagangan elektronik di tengah semakin terus bertambahnya jumlah penduduk dan angkatan kerja. Saat ini, katanya, di Bappenas sedang melakukan kajian dampak digitalisasi perekonomian terhadap penciptaan kesempatan kerja. Pihaknya mengantisipasi ketika masih punya isu pengangguran di 5,5 persen, nanti ketika era e-commerce yang masif, tidak hanya ritel, tapi juga perbankan mengurangi orang, maka akan ada pengangguran yang berat ditambah ada bonus demografi.

Menurut Bambang, tantangan yang kini dihadapi mulai berat mengingat di satu sisi generasi muda butuh pekerjaan, namun di satu sisi ada era digitalisasi. Pihaknya ingin melihat pola tenaga kerja ke depan, apakah terdapat ketidaksesuaian (mismatch) antara keterampilan yang dibutuhkan dengan angkatan kerja yang ada.

BPS mencatat ekonomi Indonesia menurut pengeluaran pada triwulan III-2017 tumbuh mencapai 5,06 persen secara tahunan dan menciptakan tambahan kesempatan kerja sebesar 2,61 juta.

Dalam RPJMN 2015-2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) ditargetkan mencapai 4-5 persen dan penciptaan kesempatan kerja sebesar 10 juta orang. Pada 2015, realisasi TPT sendiri mencapai 6,18 persen, lalu 5,61 persen pada 2016, dan pada Maret 2017 mencapai 5,5 persen.

Sedangkan realisasi penciptaan kesempatan kerja, berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Per Agustus 2017, pada 2015 sebanyak 0,19 juta orang, lalu naik menjadi 3,59 juta orang pada 2016, dan 2,61 juta orang pada 2017.

Per Agustus 2017, jumlah angkatan kerja mencapai 128,06 juta orang, meningkat 2,09 persen dibandingkan tahun sebelumnya 125,44 juta orang. Sementara itu, jumlah pekerja per Agustus 2017 mencapai 121,02 juta orang, tumbuh 2,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya 118,41 juta orang.

Bagi sektor perpajakan, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara memastikan pengenaan pajak terhadap transaksi perdagangan elektonik akan berkaitan dengan tata cara, bukan kepada pengenaan pajak jenis baru. Intinya, menurut dia, membuat tata cara yang memungkinkan teman-teman "e-commerce" memenuhi kebutuhan perpajakan yang lebih baik. Tidak ada pajak baru.

Suahasil mengatakan metode pengenaan pajak tersebut sedang dalam proses kajian dan penyusunan, karena Wajib Pajak yang terlibat dalam transaksi elektronik ini mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Ia juga memastikan pengaturan pajak yang dikenakan tidak jauh berbeda dengan transaksi yang berlaku pada jual beli secara konvensional.

Melalui pengenaan pajak terhadap transaksi ini, seluruh kegiatan ekonomi melalui daring dapat terekam dan bisa meningkatkan ketaatan Wajib Pajak kepada pembayaran pajak. Untuk itu, ia mengharapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan pajak kepada transaksi elektronik ini segera terbit paling cepat pada akhir 2017.

Potensi ekonomi digital Indonesia besar dan terus berkembang. Namun hal itu tidak berarti tidak ada hambatannya, Menurut Darmin Nasution, hambatan itu meliputi belum meratanya infrastruktur, regulasi yang harus segera disesuaikan, serta struktur industri masih membuat ketergantungan terhadap impor.

Menurut Darmin, hal itu perlu dicari jalan keluarnya. (S/An)

Ahmad Buchori
Previous Post Next Post

News Feed